Assalamualaikum Wr.wb. Selamat Datang di Gen-sinfony.blogspot.com, Terimakasih atas kunjungan anda :) dan salam X-presi GEN 23 B-)

Minggu, 02 Januari 2011

Opini Sinfony Part 2 (Juwita Arfaini)


JOGJAKARTA, kontroversi keistimewaan

Oleh : Juwita Arfaini
Akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa Indonesia. Belum selesai satu masalah, muncul masalah baru lagi. Apalagi dengan berita yang sedang panas-panasnya saat ini. Saya pribadi juga sempat terkejut dengan pendapat Pak SBY tentang Jogja. Menurut berbagai berita, Pak SBY tidak menghendaki sistem monarki yang ada di Jogja. Seperti gubernur yang selalu dijabat oleh Sultan Hamengkubuwono X. Hal ini melanggar prinsip demokrasi di Indonesia yang tidak menghendaki adanya monarki. Sontak berita ini menuai kritik dari berbagai pihak. Masyarakat Jogja sendiri juga terkejut dan tidak terima dengan apa yang dilontarkan oleh SBY. Seperti yang dituturkan oleh Ketua Perhimpunan Lurah atau apalah lupa saya pokoknya di Jogjakarta, beliau sangat tidak menghendaki apabila Sultan tidak menjabat sebagai Gubernur.
Hal ini juga didukung oleh banyak pihak dari Jogja. Beberapa orang mengatakan bahwa Gubernur Jogja harus tetap dijabat oleh Sultan dengan alasan sejarah Kerajaan. Dan apabila disuruh memilih apakah pemilihan gubernur lewat jalan penetapan atau pemilu. Mereka secara jelas dan gamblang memilih penetapan yang artinya Sultan Hamengkubuwono X ataupun penerusnya tetap menjabat sebagai gubernur. Tidak ada keberatan sedikitpun dari masyarakat Jogja. Jadi apa yang perlu dipermasalahkan lagi????
Kalau menurut saya pribadi, pemilihan gubernur Jogja itu dilakukan secara penetapan saja, karena sejarah panjang Jogja memang sangat mendukung sekali. Sebagai penjelasan yaitu saat penjajahan Belanda, Sultan Hamengkubuwono IX dilantik secara resmi sebagai Raja Jogjakarta oleh pemerintah Belanda. Hal ini membuktikan bahwa saat itu, kesultanan Jogja memiliki eksistensi tinggi di mata pemerintah Belanda. Sampai sekarangpun Kerajaan yang masih bisa mempertahankan eksistensi tertinggi yaitu Keraton Jogja. Mengapa saya berkata demikian? Karena kebudayaan yang dijunjung oleh Keraton Jogja masih tetap dipertahankan, kegiatan Keraton pun tetap masih berjalan, seperti adanya abdi dalem, upacara-upacara, dll.
Kembali ke masa lalu. Setelah Indonesia merdeka, terpaut beberapa hari, Kesultanan Ngayogyakarta menyatakan diri masuk Republik Indonesia. Hal ini merupakan keputusan besar Sultan Hamengkubuwono IX karena mengingat kedaulatan Jogja yang sangat berpengaruh sekali. Selain itu telah diatur dalam UUD 1945 pasal 18 yang menyatakan bahwa Gubernur DIY dijabat oleh Hamengkubuwono dan Paku Alam. Hal ini membuktikan bahwa keistimewaan Jogjakarta itu mutlak adanya dan diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Apabila sistem penetapan gubernur itu dihilangkan, apa arti Daerah Istimewa lagi????
Di samping itu sudah ditegaskan pula bahwa Jogja sendiri juga mengikuti sistem demokrasi di Indonesia. Seperti mengikuti pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan anggota legislatif, maupun mengikuti kebijakan publik lainnya. Jadi apakah hal tersebut monarki? Bukan. Itu merupakan “hak istimewa” yang dimiliki Jogja.
Lalu kita harus memikirkan efek yang akan ditimbulkan apabila salah satu “keistimewaan” Jogja dihapus. Tentu hal ini akan berdampak amat sangat buruk sekali.
Yang pertama dan sudah mulai terjadi yaitu protes dari warga Jogjakarta sendiri karena keyakinan mereka sudah mantap bahwa Sultan merupakan satu-satunya orang yang berhak memegang kekuasaan di Jogja dan tidak ada keburukan dari sistem pemerintahan beliau. Jogja sudah tumbuh menjadi daerah yang makmur, tentram di bawah pemerintahan Sultan. Tidak ada praktek kejahatan pemerintahan di sana sejak Sultan berkuasa. Itulah yang menjadi alasan kenapa warga Jogja lebih percaya apabila Sultan yang menjabat menjadi Gubernur.
Kedua, pelestarian budaya Keraton tidak akan terjaga sebagus saat ini. Mengapa saya berkata demikian???? Bisa saya simpulkan bahwa abdi dalem digaji oleh Sultan dan gaji yang berupa uang tersebut tentu sebagian besar merupakan uang pribadi Sultan. Jadi hal ini mengindikasikan bahwa apabila keuangan Sultan tidak makmur. Lalu apa yang terjadi dengan para abdi dalem? Sultan tidak mungkin mendapat tambahan uang untuk menggaji para abdi dalem yang jumlahnya tentu sangat banyak itu.
Ketiga, keistimewaan Jogja akan semakin surut. Mengapa? Karena popularitas terbesar Jogja yaitu adanya Keraton yang masih hidup yaitu ditandai dengan masih berkuasanya seorang Sultan di sana. Apabila keistimewaan itu surut maka investor maupun wisatawan di sana akan semakin surut.
Keempat, apakah kita hanya menjadikan Keraton itu sebagai simbol? Jadi Jogja menjadi tidak jauh beda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Ini sungguh ironis.

Jadi Pak SBY maupun semua pihak yang mendukung adanya penggantian konstitusi di Jogja mohon dipikir-pikir lagi. Alasan-alasan yang ada sudah secara nyata menjelaskan bahwa Jogja merupakan suatu Daerah Istimewa di Indonesia. Semestinya pendapat seperti itu tidak perlu dimunculkan karena dapat dilihat sendiri akibatnya, hal ini menuai banyak kritik daripada dukungan. Tidak hanya dari masyarakat Jogja namun seluruh masyarakat Indonesia. Padahal sebelum adanya berita ini, tidak ada keluhan dari warga Jogja sendiri tentang jabatan Gubernur yang selalu diduduki oleh Hamengkubuwono. Jadi apa yang perlu dipermasalahkan. Toh tidak ada penyimpangan dalam kekuasaan Sultan. Bahkan masyarakat maupun para abdi dalem sama sekali tidak keberatan dengan ini.

0 komentar:

Posting Komentar